Selasa, 30 Oktober 2012

Erupsi Matahari Disangka UFO Isi Bahan Bakar

Ilmuwan NASA mengakui, ini fitur yang tak biasa pada matahari. Tapi, itu bukan UFO.

Aktivitas Matahari,

Sebuah gambar Matahari yang ditangkap sebuah teleskop pada 12 Maret 2012 menghebohkan dunia maya. Gara-gara ada penampakan bayangan obyek sebesar planet yang seolah ditambatkan diri ke Sang Surya, melalui sebuah filamen gelap.
Seperti dimuat situs sains, Life's Little Mysteries, nampak dalam rekaman, di pinggiran Matahari yang menyembur, benda berbentuk bulat itu seolah  melepaskan diri dari Matahari dan meluncur ke ruang angkasa.

Rekaman tersebut adalah gabungan foto yang diambil oleh Solar Dynamics Observatory dan diolah oleh para ilmuwan di Goddard Space Flight Center NASA. Gambar tersebut dengan cepat menarik perhatian di YouTube, di mana sejumlah penontonya menduga, rekaman itu menunjukkan pesawat UFO sedang mengisi bahan bakar dengan cara menyedot plasma Matahari. Atau yang lebih ilmiah, diduga itu adalah fenomena kelahiran planet.

Menanggapi polemik itu, ilmuwan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengatakan, fitur dalam rekaman tersebut adalah tipe aktivitas Matahari yang disebut "solar prominence" atau letusan plasma magnetik. Fenomena ini sering diamati, meski para ilmuwan mengaku, belum memahaminya lebih dalam.

Ilmuwan NASA, Joseph Gurman mengatakan, prominence yang nampak seperti benang atau kawat dari di tepi kiri bawah matahari -- seperti yang nampak dalam video, terbentuk dari plasma yang lebih dingin dan padat dari sekelilingnya -- adalah korona Matahari.

Gurman menjelaskan bahwa para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti bagaimana prominence dihasilkan pada Matahari.

Sementara, C. Alex Young, ilmuwan astrofisika ahli astrofisika matahari di Goddard Space Flight Center NASA menjelaskan, kesan bola sedang menyedot energi Matahari disebabkan posisi prominence yang berada di bawah fitur saluran filamen Matahari, yang berbentuk seperti terowongan.

Young mengakui, fitur tersebut tidak biasa pada Matahari. Lihat videonya di tautan ini. (umi)

Eks Astronot: NASA, Jangan Remehkan 2011 AG5

Deep Impact pernah ditabrakkan ke Komet Tempel 1 tahun 2005. Tak mempan untuk 2011 AGS.

 

VIVAnews - Dua puluh delapan tahun lagi, tepatnya pada 5 Februari 2040, sebuah asteroid sepanjang 460 kaki atau 140 meter akan melintas dekat Bumi. Asteroid 2011 AG5 itu bisa jadi ancaman bagi umat manusia, meski para ilmuwan mengatakan belum tentu, perbandingannya masih jauh 1:625. Dan, masih ada banyak waktu.

Jawaban para ilmuwan tak memuaskan bagi sebagian orang, termasuk seorang astronot misi Apollo, Russell Schweickart, yang belakangan mendedikasikan diri dalam pengamatan batu angkasa yang berpotensi berbahaya bagi bumi.

Ia menuntut Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mempelajari lebih detail soal Asteroid 2011 AG5. Dalam surat terbuka yang ditujukan pada administrator NASA, Charles Bolden, Schweickart menyoroti apa yang ia anggap sebagai ancaman yang bisa ditimbulkan batu angkasa itu, saat ia masuk ke 'lubang kunci' pada 2023 dan membuatnya mungkin akan bertabrakan dengan bumi pada 2040.

'Lubang kunci" (keyhole) adalah sebuah wilayah kecil di ruang angkasa dekat bumi, di mana objek dekat bumi yang melintas bisa terganggu, oleh gaya gravitasi, yang menempatkannya pada lintasan yang bisa menubruk bumi.

Schweickart mempertanyakan pandangan Bolden, dalam korespondensi sebelumnya, bahwa satelit mirip Deep Impact bisa diluncurkan dalam waktu yang cukup untuk menghalau batu itu menghantam permukaan bumi.

Sebelumnya, satelit Deep Impact pernah ditabrakkan ke Komet Tempel 1 pada 4 Juli 2005.

Meski misi Deep Impact kala itu berhasil, Schweickart berpendapat, analogi yang sama tak bisa digunakan untuk Asteroid 2011 AG5. Ia berpendapat, untuk asteroid tersebut, butuh dua misi, tak hanya satu. Dengan kata lain, mencegat dampak Asteroid 2011 AG5 tantangannya lebih menakutkan ketimbang komet Tempel 1.

"Baik Anda maupun saya, tak mau mempertaruhkan hidup tanpa persiapan yang solid. Dalam hal ini, ada potensi nyawa dipertaruhkan. Dan saya sangat tahu, Anda punya tanggung jawab serius, seperti halnya saya," kata Schweickart dalam surat terbuka kepada Bolden, seperti dimuat SPACE.com, Selasa, 13 Maret 2012.

"Jelasnya, saya meminta dilakukan hal teknis khusus dan misi analisis untuk memastikan, kita benar-benar memahami soal perhitungan waktu," tambah dia.

Dia menambahkan, kemungkinan 2011 AG5 menabrak bumi memang kecil. "Namun, kita harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk dengan cara melakukan persiapan."

Menanggapi surat tersebut, pejabat NASA, Lindley Johnson mengatakan apa yang diungkap Schweickart sejatinya menjadi pertimbangan NASA dalam melihat  2011 AG5.

Johnson mengatakan, pihaknya memerlukan data yang lebih akurat soal kepastian orbit 2011 AG5. Jika sudah didapat, baru misi analisis akan dilakukan. "Kami yakin, memiliki waktu lebih dari cukup waktu untuk melakukan misi analisis dan melakukan respon yang dibutuhkan."

Kekhawatiran Schweickart diamini Clark Chapman, spesialis asteroid dan ilmuwan planet dari Southwest Research Institute di Boulder, Colorado.

Sebelumnya diinformasikan,  antara tahun 2013 dan 2016, para astronom baru bisa memonitor 2011 AG5 dari tanah, yang jadi modal untuk membuat penilaian yang lebih rinci.

Namun menurut Chapman, itu tak benar. Kita bisa melihat pergerakannya pada Agustus tahun ini. Yang diperlukan adalah sebuah teleskop berbasis tanah yang besar, atau menggunakan Teleskop Hubble.

Makin banyak informasi tentang 2011 AG5 diperlukan. "Kita tak tahu seberapa besar asteroid itu," kata dia. Makin besar ukurannya, makin berat untuk menjauhkannya dari bumi.

Bagaimana dengan prediksi peluang asteroid itu menabrak bumi menjadi nol? "Pendapat saya, Anda tak bisa mengatakan, 'ayo tunggu saja, kemungkinannya menjadi nol'. Ya, ada kemungkinan peluang jadi nol, tapi saya kira tidak....," tambah dia. (hp).

20 Fakta menarik Tentang Bumi

20. Ukuran
Rumah kita ini memiliki ukuran 'pinggang' yang cukup lebar. Jika mengukur garis khatulistiwa, Bumi memiliki diameter 24.901 mil atau 40.075 kilometer.

19. Selalu bergerak
Anda merasa sedang berdiri dan tak bergerak. Tapi, sebenarnya manusia ikut bergerak cepat mengikuti rotasi bumi. Kecepatannya, tergantung anda berada di mana. Orang yang tinggal di garis khatulistiwa bisa bergerak paling cepat, bisa lebih dari 1.000 mil atau 1.600 kilometer per jam!

Orang yang tinggal di kutub tak bergerak. Bayangkan jika anda memutar bola basket di ujung jari anda. Titik bola yang ada di ujung jari anda hanya berputar di jari anda saja.
Tak hanya bergerak di porosnya, bumi juga mengitari matahari. Kecepatannya pun lumayan: 107.826 km per jam.

18. Tua
Ilmuwan memperkirakan usia bumi dengan menghitung umur batu tertua di planet ini dan meteorit yang ditemukan di bumi. Meteorit dan bumi terbentuk di waktu yang sama, saat sistem tata surya terbentuk. Hasilnya: bumi berusia 4,54 miliar tahun. Batu tertua yang diketahui bernama Nuvvuagittuq Belt di pesisir Teluk Hudson, Kanada. Usia bebatuan ini berumur sekitar 4,28 miliar.

17. Gempa bulan
Bulan sebagai satelit bumi juga dilanda gempa. Meski gempa di bulan lebih jarang dibanding gempa di bumi. Menurut ahli, gempa di bulan berkaitan dengan pasang surut jarak bumi dan bulan. Gempa di bulan juga biasanya terjadi di kedalaman, tengah-tengah permukaan dan pusat bulan.

16. Gempa terkuat
Sepanjang sejarah manusia, gempa terkuat yang pernah tercatat adalah 9,5 SR yang terjadi Chile pada 22 Mei 1960, menurut US Geological Survey (USGS).

15. Terpanas
Tempat terpanas di muka bumi ada di El Azizia, Libya. NASA Earth Observatory mencatat, daerah ini pernah dilanda suhu hingga 57,8 derajat Celcius pada 13 September 1922.

14. Terdingin
Mungkin anda berpikir jika 'penghargaan' tempat terdingin di bumi jatuh kepada Antartika yang memang terkenal sangat dingin hingga suhu bisa mencapai minus 73 derajat C. Tapi, suhu lebih rendah pernah tercatat di Vostok Station, Rusia. Pada 21 Juli 1983 suhu di tempat ini mencapai minus 89,2 derajat C.

13. Punya dua bulan
Bumi mungkin pernah punya dua bulan. Satu bulan kecil berdiameter sekitar 1.200 km pernah mengitari bumi sebelum bertumbukan dengan bulan yang kita ketahui saat ini. Bentrokan ini bisa menjelaskan dua sisi wajah bulan kita yang berbeda.
12. Batu berjalan
Bebatuan bisa berjalan di bumi, setidaknya mereka bisa berjalan di Racetrack Playa,  Death Valley. Di sini, badai bisa memindahkan bebatuan yang kadang beratnya bisa puluhan hingga ratusan pound, Menurut peneliti Badan Antariksa AS (NASA).

11. Danau Meledak
Di Kamerun dan perbatasan Rwanda dan Republik Demokratik Kongo ada tiga danau mematikan: Nyos, Monoun dan Kivu. Ketiganya adalah danau kawah yang duduk di atas bumi vulkanik. Magma di bawah permukaan melepaskan karbondioksida ke danau. Karbondioksida ini bisa dilepas ke udara dalam bentuk ledakan. Siapapun yang lewat bisa lemas karena sesak napas dan kekurangan oksigen. Bersambung.... (umi)

sumber.viva news

Minggu, 28 Oktober 2012

Mengulik Teka-Teki Candi Borobudur


Sebagai Bangsa Indonesia, setiap kita tentu pernah mendengar tentang kemegahan Candi Borobudur bukan?! Atau bahkan kita juga sudah pernah melihat langsung keagungan candi ini dari dekat.
Candi Borobudur. Kredit : Irma Hariawang
Ya, Borobudur adalah candi terbesar yang dimiliki oleh bangsa kita. Diatas tanah dengan luas lokasi 15.000 meter persegi berdiri kokoh susunan batu berundak 10 tingkat setinggi 42 meter. Total volume batu andesit yang digunakan untuk membentuk susunan ini sebanyak 55.000 meter kubik. Pada dinding candi juga terukir 1300 gambar relief cerita Buddha dan Mahabarata. Bila relief-relief ini disusun memanjang berurutan maka panjangnya mencapai 2,5 kilometer. Wow! Sungguh sebuah karya seni yang mahabesar. Oleh para arkeolog, Borobudur diperkirakan dibangun sekitar tahun 800 masehi oleh Wangsa Syailendra. Karena keagungan dan kemegahannya inilah Borobudur menjadi pusat ziarah Agama Buddha yang terbesar se-Asia sekitar tahun 900 sampai tahun 1000 masehi. Bagaimana ya cara nenek moyang kita membuat relief dan susunan batu sebesar itu? Pada jaman itu tentunya belum ada truk dan alat angkut untuk membantu mengangkut batu-batu dari sungai, mereka harus melakukannya sendiri atau paling tidak dibantu oleh kuda.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Astronomi ITB dan langitselatan akan menambah kekaguman kita terhadap Candi Borobudur. Perhatikan baik-baik ya, stupa utama Candi Borobudur ternyata mempunyai fungsi sebagai sebuah penanda waktu.
Nenek moyang Bangsa Indonesia sejak jaman dahulu menggunakan rasi bintang di langit sebagai penanda waktu misalnya, masyarakat Jawa Tengah mengamati rasi bintang Orion hingga terbit dengan ketinggian tertentu untuk menentukan awal masa bercocok tanam. Astronomi bukanlah pengetahuan yang mengawang-awang bagi nenek moyang kita, mereka mengamati gerak bintang, matahari dan bulan sebagai penanda waktu.
Relief Bulan, 7 lingkaran kecil sebagai bintang dan matahari di dinding candi. Seperti gambaran sebuah rasi bintang. Kredit : irma Hariawang
Borobudur bisa saja merupakan sebuah monumen astronomi yang merekam semua gerak langit di jaman itu. Untuk membuktikannya kita harus membongkar teka-tekinya terlebih dahulu. Hipotesa bermula dari bentuk candi yang cukup unik. Bila diamati dari langit, bentuknya simetris. Lantai 1 sampai 7 berbentuk persegi sama sisi sedangkan lantai 8 sampai 10 berbentuk lingkaran dengan pusatnya sebuah stupa utama dengan total tinggi 20 meter dan diameter 17 meter. Stupa utama ini memiliki posisi yang unik, berada di pusat lingkaran stupa – stupa kecil. Dari bentuk candi yang simetris inilah (seperti sebuah jam) akhirnya menimbulkan hipotesa bahwa stupa utama candi mempunyai fungsi sebagai sebuah penanda waktu.
Penanda waktu mula-mula yang digunakan oleh manusia adalah gomon atau jam matahari. Sistemnya sangat sederhana, hanya sebuah tongkat yang diletakkan vertikal diatas tanah. Dengan mengamati panjang bayangan tongkat setiap waktu maka dapat digambarkan sebuah pola bayangan tongkat. Nah, pola bayangan tongkat inilah yang digunakan manusia purba untuk menandai waktu.
Stupa Utama Candi BOrobudur. Kredit : Irma Hariawang
Untuk menguji kebenaran hipotesa, tim peneliti melakukan pengamatan di Candi Borobudur. Diamati pola bayangan stupa utama ketika matahari berada di titik Vernal Equinox (titik perpotongan bidang ekuator langit dan bidang ekliptika) yaitu 19 sampai 20 maret. Waktu ini dianggap istimewa karena pada hari itu matahari akan terbit dan terbenam di arah timur dan barat benar (east true & west true). Dengan berbekal data pengamatan ini dibuat sebuah model bayangan stupa utama setiap hari dalam satu tahun dan dikoreksi terhadap kesalahan pengukuran dan pengamatan. Hasilnya bayangan stupa utama membuat pola yang khas yang jatuh pada stupa kecil tertentu disekitarnya. Contoh penerapannya secara praktis seperti ini, kalau kita melihat bayangan stupa utama jatuh pada stupa 1 di tingkat 8 maka saat itu merupakan waktu bertanam (misalnya saja). Hasil ini membuktikan Candi Borobudur adalah sebuah jam raksasa di tahun 800, menarik bukan?!
Bayangan stupa utama dalam satu tahun. mekanisme jam raksasa.
Penemuan ini tentunya masih harus disesuaikan terhadap banyak faktor, misalnya faktor goncangan tektonik yang membuat posisi stupa candi menjadi bergeser sehingga jatuhnya bayangan tidak akurat lagi. Selain itu juga belum diketahui mekanisme penanda waktu yang digunakan oleh masyarakat di jaman pembangunan Borobudur, sehingga kita belum tahu secara pasti stupa-stupa yang dianggap penting dan yang digunakan sebagai pertanda. Satu hal yang pasti, nenek moyang Bangsa Indonesia sudah mengenal astronomi dengan baik dan menerapkannya untuk membantu keseharian hidupnya. Astronomi bukan hanya mengenai bintang yang jauh di langit dan sulit untuk kita jangkau melainkan astronomi bisa menjadi sedekat waktu yang tiap detik kita amati.
by.langitselatan

Kisah galaxy Bima Sakti 1


Bila kita memiliki kesempatan untuk pergi ke daerah yang jauh dari cahaya lampu perkotaan dan cuaca betul-betul cerah tanpa awan, kita akan dapat melihat selarik kabut yang membentang di langit. “Kabut” itu ikut bergerak sesuai dengan gerakan semu langit, terbit di timur dan terbenam di barat.
Selarik kabut di langit yang kita kenal dengan Bima Sakti atau "Jalur Susu'' bagi orang Yunani dan Romawi kuno. Kabut ini membentang melintasi seluruh bola langit, sebagaimana ditunjukkan oleh foto panorama Bima Sakti pada gambar bawah. Sumber: Atas: Jerry Lodriguss/Astropix.com. Bawah: Bruno Gilli/ESO.
Keberadaan kabut ini telah dijelaskan keberadaannya oleh berbagai peradaban semenjak lama. Di kalangan masyarakat Jawa kuno, pada musim kemarau kabut ini melewati zenith, membentang dari timur ke barat, menyerupai sepasang kaki yang mengangkangi Bumi. Kaki ini adalah milik Bima, anggota keluarga Pandawa yang diceritakan dalam pewayangan Mahabharata. Demikian besar tubuhnya dan betapa saktinya ia, sehingga kabut itu dinamakan Bima Sakti, sebuah nama yang hingga saat ini masih kita gunakan untuk menamai gumpalan kabut tersebut.
Asal muasal Bima Sakti dijelaskan dalam Mitologi Yunani. Ini adalah lukisan pelukis Italia Jacopo Tintoretto yang hidup pada masa renaisans, ``Asal muasal Bima Sakti.'' Sumber: Koleksi Galeri Nasional, London, Inggris Raya.
Nun jauh dari Jawa, di Yunani, masyarakat di sana memberikan nama lain untuk objek yang sama.Mitologi Yunani menceritakan kelahiran Herakles(dinamakan Hercules dalam mitologi Romawi), anak raja diraja para dewa—Zeus—denganAlcmene yang manusia biasa. Hera, istri Zeus yang pencemburu, menemukan Herakles dan menyusuinya. Herakles sang bayi setengah dewa menggigit puting Hera dengan kuatnya. Hera yang terkejut kesakitan melempar Herakles dan tumpahlah susu dari putingnya, berceceran di langit dan membentuk semacam jalur berkabut. Tumpahan susu ini kemudian dinamakan“Jalan Susu.” Demikianlah imajinasi orang-orang Yunani menamakan kabut tersebut, atau galaxias dalam Bahasa Yunani. Oleh orang-orang Romawi kuno, yang mitologinya kurang lebih sama dengan mitologi Yunani, galaxiasdiadaptasi menjadi Via Lactea atau “Jalan Susu” dalam Bahasa Latin. Dari sini pulalah kita memperoleh nama Milky Way yang juga berarti “Jalan Susu” dalam Bahasa Inggris.
Hakikat kabut ini tidak banyak dibicarakan dalam kosmologi Aristotelian, dan Aristoteles sendiri menganggap kabut ini adalah fenomena atmosfer belaka yang muncul dari daerah sublunar. Namun, ketika Galileo mengembangkan teknologi teleskop dan mengarahkannya ke kabut “Jalan Susu,” ia melihat ratusan bintang. Di daerah “berkabut” terdapat konsentrasi bintang yang lebih padat daripada daerah yang tidak dilewati oleh pita “Jalan Susu.” Rupanya kabut ini tak lain adalah kumpulan dari cahaya bintang-bintang yang jauh dan kecerlangannya terlalu lemah untuk bisa ditilik oleh mata manusia, sehingga agregat dari pendaran cahaya mereka terlihat bagaikan semacam kabut atau awan.
Alam semesta yang dibayangkan Thomas Wright dari Durham.
Bagaimana menjelaskan Kabut “Jalan Susu” atau “Bima Sakti” dalam konteks susunan jagad raya? Seorang pembuat jam yang mempelajari astronomi secara mandiri, Thomas Wright dari Durham, menjelaskan gejala ini sebagai akibat dari posisi kita dalam sebuah kulit bola. Thomas Wright menuliskan ini pada tahun 1750 dalam bukunya An original theory or new hypothesis of the Universe, dan membuat ilustrasi pada gambar di samping. Bintang-bintang tersebar merata pada sebuah kulit bola. Andaikan Matahari kita terletak pada titik A, maka bila kita melihat ke arah B dan C kita akan melihat lebih sedikit bintang daripada bila kita melihat ke arah D dan E. Kabut “Jalan Susu” yang merupakan daerah di langit dengan konsentrasi bintang yang lebih tinggi inilah yang kita lihat sebagai arah D dan E.
Sebagai alternatif, Thomas Wright juga memodelkan bintang-bintang yang terdistribusi menyerupai cincin pipih, dan ini juga dapat menjelaskan keberadaan kabut “Jalan Susu.” Bila Matahari terletak di permukaan cincin ini, kita akan melihat lebih banyak bintang bila melihat ke arah permukaan cincin, namun tidak akan banyak bintang yang dapat kita amati bila kita melihat ke arah yang tegak lurus permukaan cincin.
Filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa "Nebula'' Andromeda adalah sistem bintang yang mandiri dan menyerupai sistem Bima Sakti. Sumber: APOD.
Filsuf Jerman Immanuel Kant kemudian membaca buku Thomas Wright dan kemudian memodifikasi ide Wright dan mengatakan bahwa bintang-bintang terdistribusi membentuk cakram pipih. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa cakram pipih ini merupakan sebuah sistem gravitasi yang mandiri dan di luar sistem ini juga terdapat sistem-sistem lain yang berbentuk serupa. Lebih lanjut Kant berspekulasi bahwa objek-objek menyerupai awan—disebut juga nebula, dari Bahasa Yunani yang berarti “awan”—yang beberapa di antaranya diamati oleh astronom Charles Messier adalah sistem bintang mandiri yang lokasinya jauh dari sistem bintang “Jalur Susu” tempat Matahari kita berada.
Baik ide Thomas Wright maupun Immanuel Kant merupakan spekulasi belaka di hadapan kurangnya data mengenai distribusi bintang-bintang di sekitar Matahari kita. Usaha serius untuk memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari kita dilakukan kemudian oleh seorang pemusik Jerman yang menjadi pengungsi di Inggris: Friedrich Wilhelm Herschel yang kemudian dikenal dengan nama Inggrisnya yaitu William Herschel.
Astronom Jerman-Inggris William Herschel adalah pengamat astronomi terhebat pada zamannya. Tidak hanya ia bekerja memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari, tetapi ia juga menemukan Planet Uranus. Sumber: Koleksi Galeri Potret Nasional, London, Inggris Raya.
Herschel memulai penggunaan statistik dalam astronomi dengan mempraktikkan cacah bintang. Yang dilakukan Herschel adalah menyapu seluruh daerah langit secara sistematis dengan teleskopnya dan menghitung jumlah bintang yang dapat ia lihat di dalam daerah pandang teleskopnya. Dengan cara ini ia dapat memetakan kerapatan bintang ke segala arah dari Matahari. Herschel juga mengambil asumsi penting yaitu mengandaikan kecerlangan intrinsik semua bintang besarnya sama dengan kecerlangan Matahari, sehingga dengan mengukur kecerlangan semu setiap bintang, ia dapat mengetahui jarak setiap bintang dari Matahari. Pengandaian ini tentu saja tidak tepat karena banyak bintang yang secara intrinsik jauh lebih terang maupun lebih redup daripada Matahari kita, namun Herschel berharap bahwa Matahari adalah bintang yang jamak ditemukan di alam semesta dan oleh karena itu dapat menjadi cuplikan yang mewakili seluruh bintang. Dengan cara ini ia berhasil membuat peta sistem bintang “Jalur Susu.” Pada masa ini teori gravitasi Newton sudah diterima sebagai sebuah realitas dan digunakan untuk menjelaskan kekuatan yang dapat menjelaskan keterikatan satu sama lain Matahari dan bintang-bintang di sekitarnya membentuk sistem bintang. Dengan dua kenyataan ini, teori gravitasi Newton dan cacah bintang Herschel, orang menyadari bahwa Matahari adalah bagian sistem bintang-bintang yang terikat secara gravitasi, dan “kabut” Jalur Susu adalah akibat dari posisi kita di dalam sistem ini. “Galaksi” kemudian menjadi nama bagi sistem bintang-bintang ini, dan nama Galaksi kita adalah Milky Way atau orang Indonesia menyebutnya Bima Sakti. Nama yang berasal dari narasi mitologis boleh tetap sama, namun paradigma “Jalur Susu” telah berubah.
Penampang silang Galaksi Bima Sakti berdasarkan hasil cacah bintang William Herschel. Lokasi matahari terletak agak dekat ke pusat, dan Galaksi ini bentuknya agak lonjong. Sumber: Hoskins, M. editor, Cambridge Illustrated History of Astronomy, Cambridge Univ. Press, 1997.
Atas: Pandangan ke arah Pusat Galaksi kita. Kiri bawah: Galaksi Pusaran atau Messier 51, salah satu galaksi dekat tetangga Galaksi Bima Sakti. Kanan bawah: Nebula Rajawali atau Messier 16 di arah Rasi Waluku. Sumber: Digital Sky/HST/ESO.
Memasuki abad ke-20, ukuran Galaksi Bima Sakti (gambar di samping, panel atas) dan lokasi persis Matahari kita di dalamnya belum diketahui dengan pasti. Teka-teki kedua yang tidak kalah pentingnya adalah hakikat dari nebula-nebula yang banyak ditemukan di sekitar Matahari: Apakah mereka adalah sistem-sistem bintang yang setara dengan Galaksi Bima Sakti namun mandiri, ataukah mereka adalah bagian dari sistem Bima Sakti? Tanpa mengetahui informasi akurat mengenai jarak nebula-nebula ini, siapapun bebas berspekulasi. Nebula yang banyak diamati pada masa itu adalah nebula Andromeda dan nebula-nebula lainnya yang berbentuk spiral (gambar di samping, panel kiri bawah) maupun nebula-nebula lainnya yang bentuknya tak beraturan (gambar di samping, panel kanan bawah). Dilihat dengan teleskop pada akhir abad-19, kedua objek ini terlihat sama saja dan tidak bisa dibedakan mana yang lebih dekat ataupun lebih jauh jaraknya dari Matahari.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut Immanuel Kant, objek-objek ini letaknya sangat jauh, berada di luar Galaksi Bima Sakti, dan merupakan sistem bintang yang menyerupai Bima Sakti namun independen, Mereka adalah “pulau-pulau kosmik.” Bagi astronom Harlow Shapley, nebula-nebula tersebut jaraknya relatif dekat dan merupakan bagian dari Galaksi Bima Sakti.
Harlow Shapley adalah orang yang berjasa mengukur dimensi Galaksi kita. Dengan menggunakan bintang jenis tertentu, ia dapat mengukur jarak yang sangat jauh dari Matahari kita, mencapai ribuan tahun cahaya.
Pada tahun 1920, diadakan debat terbuka antara Harlow Shapley dengan astronom Heber Curtis yang mengusung pendapat bahwa nebula-nebula tersebut adalah sistem yang independen. Dalam debat yang di kemudian hari dinamakan sebagai Debat Akbar (The Great Debate) ini, kedua pembicara memaparkan data pengamatan astronomi yang mendukung hipotesis mereka, akan tetapi debat ini tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti mengenai skala Galaksi dan alam semesta kita.
by.langit selatan
(Bersambung)

Gambaran Terbaru struktur Bima Sakti


Semula, galaksi Bima Sakti digambarkan sebagai sebuah struktur spiral dengan empat lengan yang tersusun atas bintang-bintang, masing masing adalah lengan Norma, Scutum-Centaurus, Sagittarius, dan Perseus. Selain itu terdapat pula pita gas dan debu di daerah pusat galaksi. Matahari kita terletak pada sebuah lengan kecil yang disebut lengan Orion, yang terletak diantara lengan Sagittarius dan Perseus.
Model yang disusun berdasarkan observasi radio tahun 1950-an terhadap gas-gas dalam galaksi ini bertahan hingga mengalami revisi pada tahun 1990-an. Berdasarkan hasil dari large infrared sky survey, ditemukan keberadaan pita besar yang terdiri dari bintang-bintang di tengah galaksi Bima Sakti. Sinar inframerah dapat menembus debu, dan dengan demikian teleskop yang dirancang untuk mengumpulkan sinar inframerah dapat melihat lebih jelas kedalam pusat galaksi yang dipenuhi debu dan aneka macam objek.
Berikutnya, pada 2005, para astronom mulai menggunakan detektor inframerah pada teleskop antariksa Spitzer untuk memperoleh informasi lebih rinci mengenai pita tersebut. Sekelompok astronom yang dipimpin oleh Robert Benjamin dari University of Wisconsin menemukan bahwa pita yang terentang dari pusat Galaksi ke arah luar tersebut lebih luas dan lebih panjang dibanding yang diperkirakan sebelumnya.
Mereka memperoleh citra inframerah terbaru dari Bimasakti yang menunjukan galaksi ini terentang 130 derajat di sepanjang langit dan satu derajat merentang dari bidang galaksi menuju ke atas dan bawah. Mosaik ini terdiri dari 800.000 gambar yang diambil dan menampilkan lebih dari 110 juta bintang.

Gambaran terbaru mengenai struktur Bima Sakti. Dua lengan utama (Scutum-Centaurus dan Perseus) menyatu dengan ujung pita di pusat galaksi. Dua lengan kecil (Norma and Sagittarius) kelihatan lebih redup. Matahari kita terletak di Lengan Orion, sebuah lengan kecil yang berada di antara lengan Sagittarius dan Perseus. (Gambar: NASA)
Benjamin lantas mengembangkan perangkat lunak khusus untuk menghitung bintang-bintang tersebut serta mengukur kerapatannya. Perhitungan yang dilakukannya pada lengan Scutum-Centaurus menunjukan peningkatan jumlah bintang dibanding yang seharusnya ada di suatu lengan spiral. Sementara pengukuran pada lengan Sagittarius dan Norma tidak menunjukan adanya peningkatan jumlah bintang. Lengan ke-4, yakni lengan Perseus yang menyelubungi bagian terluar Bimasakti, tidak dapat dilihat dalam citra terbaru yang diambil Spitzer.
Penemuan ini menunjukkan bahwa galaksi Bima Sakti memiliki dua lengan spiral, sebagaimana struktur pada galaksi berpita pada umumnya. Lengan utama tersebut, lengan Scutum-Centaurus dan Perseus, memiliki kerapatan terbesar yang tersusun atas bintang-bintang muda dan terang serta bintang-bintang yang lebih tua yang dikenal sebagai raksasa merah (red-giant stars). Benjamin menyatakan bahwa kedua lengan utama tersebut terlihat berhubungan dengan bagian terdekat dan terjauh dari pita utamanya.
“Kini, kita dapat menyatukan kedua lengan tersebut dengan pita utama, seperti menyusun sebuah puzzle,” jelas Benjamin. Observasi inframerah sebelumnya menemukan petunjuk mengenai kedua lengan tersebut. Namun hasilnya tidak begitu jelas karena posisi dan lebar lengan masih belum diketahui.
Sekalipun lengan galaksi tampak sebagai fitur yang lengkap, namun pada kenyataannya bintang di dalamnya secara konstan terus bergerak keluar dan masuk di dalam lengan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pergerakan bintang-bintang tersebut saat mengorbit pusat galaksi.
Matahari pun sekali waktu akan berada pada lengan yang berbeda. Dan sejak ia terbentuk 4 milyar tahun yang lalu, Matahari telah mengitari pusat galaksi sebanyak 16 kali. (spitzer.caltech.edu)

Mengenal galaxy Bima Sakti

Bima Sakti (dalam bahasa Inggris Milky Way, yang berasal dari bahasa Latin Via Lactea, diambil lagi dari bahasa Yunani Γαλαξίας Galaxias yang berarti "susu") adalah galaksi spiral yang besar termasuk dalam tipe Hubble SBbc dengan total masa sekitar 10^{12} massa matahari, yang memiliki 200-400 miliar bintang dengan diameter 100.000 tahun cahaya dan ketebalan 1000 tahun cahaya.[1] Jarak antara matahari dan pusat galaksi diperkirakan 27.700 tahun cahaya. Di dalam galaksi bimasakti terdapat sistem Tata Surya, yang didalamnya terdapat planet Bumi tempat kita tinggal. Diduga di pusat galaksi bersemayam lubang hitam supermasif (black hole). Sagitarius A dianggap sebagai lokasi lubang hitam supermasif ini. Tata surya kita memerlukan waktu 225–250 juta tahun untuk menyelesaikan satu orbit, jadi telah 20–25 kali mengitari pusat galaksi dari sejak saat terbentuknya. Kecepatan orbit tata surya adalah 217 km/d.
Di dalam bahasa Indonesia, istilah "Bimasakti" berasal dari tokoh berkulit hitam dalam pewayangan, yaitu Bima. Istilah ini muncul karena orang Jawa kuno melihatnya susunan bintang-bintang yang tersebar di angkasa jika dihubungkan dan ditarik garis akan membentuk gambar Bima dililit ular naga maka disebutlah "Bimasakti". Sementara itu, masyarakat Barat menyebutnya "milky way" sebab mereka melihatnya sebagai pita kabut bercahaya putih yang membentang pada bola langit. Pita kabut atau "aura" cemerlang ini sebenarnya adalah kumpulan jutaan bintang dan juga sevolume besar debu dan gas yang terletak di piringan/bidang galaksi. Pita ini tampak paling terang di sekitar rasi Sagitarius, dan lokasi tersebut memang diyakini sebagai pusat galaksi.
Diperkirakan ada 4 spiral utama dan 2 yang lebih kecil yang bermula dari tengah galaksi. Dan dinamakan sebagai berikut:
  • Lengan Norma
  • Lengan Scutum-Crux
  • Lengan Sagitarius
  • Lengan Orion atau Lengan Lokal
  • Lengan Perseus
  • Lengan Cygnus atau Lengan Luar

Dimensi

Cakram bintang Bima Sakti kira kira berdiameter 100.000 tahun cahaya (9.5×1017 km), dan diperkirakan rata rata mempunyai ketebalan 1000 tahun cahaya (9.5×1015 km). Bima Sakti diestimasikan mempunyai setidaknya 200 miliar bintang[2] dan mungkin hingga 400 miliar bintang[3]. Angka pastinya tergantung dari jumlah bintang bermassa rendah, yang sangat sulit dipastikan. Melebihi bagian cakram bintang, terletak piringan gas yang lebih tebal. Observasi terakhir mengindikasikan bahwa piringan gas Bima Sakti mempunyai ketebalan sekitar 12.000 tahun cahaya (1.1×1017 km) - sebesar dua kali nilai yang diterima sebelumnya. Sebagai panduan ukuran fisik Bima Sakti, sebagai misal kalau diameternya dijadikan 100 m, Tata Surya, termasuk awan oort, akan berukuran tidak lebih dari 1 mm.
Cahaya galaksi memancar lebih jauh, tapi ini dibatasi oleh orbit dari dua satelit Bima Sakti yaitu Awan Magellan Besar dan Kecil (the Large and the Small Magellanic Clouds), yang memiliki perigalacticon kurang lebih 180.000 tahun cahaya (1.7×1018 km). Pada jarak ini dan lebih jauh selanjutnya, orbit-orbit dari obyek sekitar akan didisrupsi oleh awan magelan, dan obyek obyek itu kemungkinan besar akan terhempas keluar dari Bima Sakti.
Perhitungan terakhir oleh teleskop Very Long Baseline Array (VLBA) menunjukkan bahwa ukuran Bima Saki adalah lebih besar dari yang diketahui sebelumnya. Ukuran Bima Sakti terakhir sekarang dipercaya adalah mirip seperti tetangga galaksi terdekat, galaksi Andromeda. Dengan menggunakan VLBA untuk mengukur geseran daerah formasi bintang-bintang yang terletak jauh ketika bumi sedang mengorbit di posisi yang berlawanan dari matahari, para ilmuwan dapat mengukur jarak dari berbagai daerah itu dengan assumsi yang lebih sedikit dari usaha pengukuran sebelumnya. Estimasi kecepatan rotasi terbaru dan lebih akurat (yang kemudian menunjukan dark matter yang terkandung di dalam galaksi) adalah 914,000 km/jam. Nilai ini jauh lebih tinggi dari nilai umum sebelumnya 792,000 km/jam. Hasil ini memberi kesimpulan bahwa total masa Bima Sakti adalah sekitar 3 trillion bintang, atau kira kira 50% lebih besar dari perkiraan sebelumnya.

Jumat, 19 Oktober 2012

MACS 1149-JD, Galaksi di Awal Alam Semesta

Apa jadinya kalau Hubble dan Spitzer bekerjasama? Tentunya sebuah penemuan baru yang mengungkap misteri alam semesta. Ditemukan sebuah galaksi yang sangat jauh yang datang dari masa lalu. Itulah yang terjadi ketika Hubble dan Spitzer berkerjasama. Tapi mereka tidak sendiri. Selain kemampuan keduanya yang digabungkan, mereka juga mendapat tambahan kekuatan dari efek perbesaran kosmik sehingga berhasil melihat galaksi paling jauh yang pernah tampak.


MACS 1149-JD galaksi baru di awal alam semesta. Kredit : NASA/ESA/STScI/JHU

Cahaya dari masa lalu…

Yang dilihat kedua teleskop landas angkasa itu adalah cahaya galaksi muda ketika alam semesta baru berusia 500 juta tahun. Galaksi ini berasal dari era yang sangat penting yakni ketika alam semesta sedang berada di masa peralihan dari zaman kegelapan kosmik. Pada periode tersebut, alam semesta beralih dari kondisi yang gelap tanpa bintang mengembang menjadi kosmos yang penuh galaksi yang dikenal saat ini.  Karena itu penemuan galaksi kecil dan redup ini memberikan pengetahuan baru mengenai epoh yang sangat jauh dalam sejarah kosmik.

Menurut Wei Zheng dari Johns Hopkins University, Baltimore, yang memimpin riset tersebut galaksi yang mereka amati merupakan yang terjauh yang pernah dilihat. Dan penelitian ini tidak hanya sampai disini. Pencarian galaksi-galaksi di awal alam semesta masih akan terus dilakukan karena keberadaan galaksi tersebut penting untuk memahami obyek-obyek di awal alam semesta dan bagaimana zaman kegelapan berakhir.

Cahaya dari galaksi purba yang dinamai MACS 1149-JD menempuh jarak 13,2 milyar tahun cahaya sebelum mencapai Hubble dan Spitzer. Dengan kata lain cahaya yang dilihat tersebut sudah meninggalkan galaksinya saat alam semesta masih berusia 3,6% dari usianya saat ini. Atau si galaksi memiliki pergeseran merah “z” 9,6. Pergeseran merah mengacu pada seberapa besar cahaya suatu obyek mengalami pergeseran ke panjang gelombang lebih panjang sebagau akibat alam semesta yang memuai.  Pergeseran merah ini digunakan para astronom sebagai satu jarak kosmik.

Pengamatan Hubble & Spitzer

Galaksi MACS 1149-JD diamati dalam 5 panjang gelombang berbeda, tidak seperti kandidat lainnya yang biasanya hanya diamati pada satu panjang gelombang. Pengamatan galaksi purba tersebut merupakan bagian dari Cluster Lensing And Supernova Survey with Hubble Program, dan untuk itu Teleskop Hubble melakukan pengamatan galaksi ini dalam 4 panjang gelombang tampak dan panjang gelombang infra merah. Sedangkan Spitzer melakukan pengamatan pada panjang gelombang inframerah yang lebih panjang.
Obyek yang berada pada jarak yang ekstrim pada umumnya tidak terdeteksi oleh teleskop – teleskop besar yang ada saat ini. Untuk bisa melihat galaksi jauh tersebut, para astronom menggunakan metode lensa gravitasi. Dalam metode ini, galaksi yang ada di latar depan akan berfungsi sebagai penguat bagi cahaya yang datang dari obyek latar belakang. Untuk penemuan galaksi baru tersebut. gugus galaksi masif MACS J1149+2223 yang berada di antara Bima Sakti dan galaksi MACS 1149-JD bertindak sebagai penguat cahaya yang datang dari galaksi baru tersebut menyebabkan si galaksi jadi lebih terang 15 kali sehingga dapat diamati.

Galaksi di awal di alam semesta

Dari hasil pengamatan Spitzer dan Hubble, para astronom memperkirakan kalau MACS 1149-JD usianya kurang dari 200 juta ketika diamati. MACS 1149-JD juga kecil dan kompak, hanya sekitar 1% massa Bima Sakti. Dan kalau dicocokan dengan teori kosmologi yang ada, maka galaksi-galaksi awal memang kecil. Barulah kemudian terjadi penggabungan yang mengakumulasi massa sehingga memiliki ukuran seperti galaksi-galaksi yang ada di alam semesta modern.

Mengapa galaksi purba ini penting? Galaksi-galaksi di alam semesta tersebut memegang peranan penting pada epoh reionisasi, kejadian yang menandai runtuhnya masa kegelapan. Epoh reionisasi ini dimulai sekitar 400000 tahun setelah Big Bang ketika gas hidrogen netral  terbentuk dari partikel yang sedang mengalami pendinginan.

Beberapa ratus juta tahun kemudian, lahirlah “bintang-bintang yang bercahaya” pertama dan galaksi yang jadi rumah mereka. Energi yang dilepaskan oleh galaksi-galaksi awal inilah yang diperkirakan menyebabkan hidrogen netral terserak di seluruh alam semesta dan mengalami ionisasi atau kehilangan elektro, suatu keadaan dimana gas tetap ada sejak saat itu.
Pada epoh reionisasi inilah cahaya muncul di alam semesta.

Sumber : NASA

KIsah Perjalanan Alam Semesta

Alam semesta merupakan sebuah daerah yang sangat besar, terisi dengan berbagai komponen yang bisa mengejutkan kita, termasuk hal-hal yang jauh dari bayangan kita. Teori kosmologi modern dimulai oleh Friedman pada tahun 1920 dan dikenal juga sebagai model kosmologi standar. Model kosmologi standar dimulai dengan prinsip di dalam skala besar, alam semesta homogen dan isotropis serta pengamat tidak berada pada posisi yang istimewa di alam semesta. Model ini juga menyatakan bahwa alam semesta seharusnya mengembang dalam jangka waktu berhingga, dimulai dari keadaan yang sangat panas dan padat.
Bintang merupakan salah satu objek yang bisa langsung dikenali saat kita melihat langit, tentu saja disamping bulan dan planet. Bintang sendiri memiliki beberapa tipe dan kelas, namun seringnya saat melihat bintang, kita akan langsung membandingkannya dengan Matahari. Bintang-bintang yang ada di langit terikat satu sama lainnya dalam suatu ikatan gravitasi yang membentuk galaksi Bima Sakti.

Bima Sakti juga bukan satu-satunya galaksi yang ada di alam semesta. Bima Sakti hanya merupakan satu dari miliaran galaksi yang ada dalam alam semesta teramati. Alam semesta teramati ini terdiri dari galaksi dan materi-materi lainnya yang secara prinsip bisa teramati dari Bumi saat ini Tentunya cahaya atau sinyal lainnya dari obyek-obyek ini membutuhkan waktu untuk mencapai kita.


Model Alam Semesta 

Tahun 1929, Edwin Hubble yang bekerja di Carniege Observatories di Pasadena, California mengukur pergeseran merah dari sejumlah galaksi jauh. Ia juga mengukur jarak relatif dengan pengukuran kecerlangan semu bintang variabel Cepheid di setiap galaksi. saat melakukan plot pergeseran merah terhadap jarak relatif, Hubble menemukan kalau pergeseran merah galaksi jauh ini meningkat dalam fungsi linear terhadap jarak. Galaksi-galaksi jauh itu bergerak saling menjauh satu sama lainnya, dan memberikan adanya gambaran kalau alam semesta ternyata tidak tetap melainkan mengembang.

Jika demikian, bisa dikatakan alam semesta di masa lalu itu jauh lebih kecil dan lebih jauh lagi ke masa lalu, alam semesta ini hanya berupa sebuah titik. Titik yang kemudian dikenal sebagai dentuman besar, sekaligus awal dari alam semesta yang bisa kita pahami saat ini. Alam semesta yang mengembang ini terbatas dalam ruang dan waktu.
Newton mengetahui bahwa jika deskripsi gravitasinya benar, maka gaya gravitasi antar seluruh partikel bermassa dalam alam semesta akan secara akumulatif membuat alam semesta runtuh. Oleh karena itu ia mengusulkan alam semesta besarnya tak hingga. Persamaan medan Einstein mengusulkan alam semesta yang dinamik (walaupun awalnya Einstein sendiri, seperti kebanyakan orang hingga 1920an, berpikir bahwa alam semesta statik. 

Mengapa alam semesta ini tidak runtuh seperti prediksi Newton dan Einstein? Jawabannya tak lain karena semenjak awal terjadinya, alam semesta ini sudah mengembang. Dalam alam semesta mengembang, ada 3 solusi yang diajukan untuk memprediksikan nasib alam semesta secara kesluruhan. Nah nasib yang mana yang akan dialami tentunya bergantung pada pengukuran kecepatan mengembang alam semesta relatif terhadap jumlah materi di dalam alam semesta.

Secara umum ketiga solusi itu adalah, alam semesta terbuka, alam semesta datar dan alam semesta tertutup. Untuk alam semesta terbuka, ia akan mengembang selamanya, jika ia merupakan alam semesta datar maka akan terjadi pengembangan selamanya dengan laju pengembangan mendekati nol setelah waktu tertentu. Jika alam semesta merupakan alam semesta tertutup, ia akan berhenti mengembang dan mulai mengalami keruntuhan terhadap dirinya sendiri dan kemungkinan akan memicu terjadinya dentuman besar lainnya. Untuk ketiga solusi ini, alam semesta akan mengalami perlambatan dalam mengembang sebagai akibat dari gravitasi.

Pengamatan yang dilakukan saat ini pada supernova jauh menunjukan terjadinya pengembangan alam semesta yang mengalami percepatan, yang diakibatkan oleh keberadaan energi kelam. Tak seperti gravitasi yang memperlambat terjadinya pengembangan, energi kelam justru mempercepat pengembangan. Nah jika memang energi kelam ini memainkan peranan yang penting dalam evolusi alam semesta, maka kemungkinan yang terjadi alam semesta akan terus mengembang secara eksponensial selamanya.


Alam Semesta Dini


Model perjalanan alam semesta. Kredit : NASA/WMAP team Namun sesungguhnya, alam semesta yang kita lihat saat ini berbeda jauh dengan masa lalu. Jika manusia mengalami yang namanya pertumbuhan dari bayi sampai dewasa, alam semesta juga demikian. Di awal sejarahnya, alam semesta merupakan daerah yang sangat panas dan padat. Suatu keadaan yang berbeda jauh dari alam semesta yang ada saat ini yang sudah sangat layak menjadi tempat hunia. Jika kita menelaah ke masa lalu, maka akan ditemukan pada saat awal sejarah alam semesta, keadaanya yang panas tidak memungkinkan adanya atom, karena elektron bergerak bebas dan pada keadaan yang lebih awal lagi, nuklei terpisah menjadi proton dan netron, dan alam semesta merupakan plasma yang luar biasa panas yang terdiri dari partikel-partikel sub nuklir. Jika kita telusuri lebih jauh lagi ke awal alam semesta maka akan ditemukan kalau alam semesta memiliki titik awal yang dikenal sebagai dentuman besar atau ledakan besar.


Jika gambaran besar alam semesta kita majukan dari Big Bang, maka akan kita temukan kalau alam semesta mengembang dari plasma yang panas dan padat menjadi alam semesta yang cukup dingin yang terlihat saat ini. Namun dalam sejarah pengembangannya, ada beberapa periode singkat saat alam semesta masih berusia sekitar 1 menit dimana proton dan netron tersintesis menjadi nuklei ( helium, deutrium, dan lithium, bersamaan dengan proton-proton tunggal yang membentuk nukeli hidrogen). Kemudian elektron bergabung dengan nuklei membentuk atom saat alam semesta berusia sekitar 370 000 tahun. Pada titik inilah alam semesta menjadi transparan dan dari radiasi foton yang lepas kita bisa mendapatkan informasi tentang alam semesta.

Pada saat alam semesta mengembang panjang gelombang mengalami pergeseran menjadi lebih panjang, sehingga temperatur radiasi menurun sampai sekitar 3 derajat Kelvin, membentuk apa yang kita kenal sebagai cosmic microwave background (CMB). CMB sendiri bisa dinyatakan sebagai emisi yang datang dari alam semesta yang masih sangat muda dan partikel berada dalam keadaan setimbang termodinamik sempurna. CMB menjadi sangat penting, karena CMB merupakan petunjuk yang membawa informasi alam semesta dini. Hasil CMB menunjukkan adanya homogenitas atau keseragaman yang tinggi dalam distribusi temperatur alam semesta.

Peta pengamatan yang dihasilkan COBE. Peta paling bawah merupakan variasi temperatur dari background radiasi. Kredit : COBEIsi alam semesta sendiri cukup beragam, bukan hanya apa yang bisa terlihat. Dari yang terdeteksi, ternyata alam semesta ini 5% terdiri dari materi (atom yang membentuk bintang, gas, debu, dan planet). Dan ada 25 % dari alam semesta yang terisi oleh materi gelap, partikel baru yang bahkan beum bisa dideteksi oleh laboratorium manapun di bumi ini. Sementara 70% alam semesta diisi oleh energi gelap, yang terdistribusi merata dan energi ini pun masih menjadi sbeuah misteri yang tak terpecahkan bagi dunia sains. Energi gelap diperkirakan merupakan energi vakum yang tak terpisahkan dari ruang waktu atau mungkin bisa juga sesuatu yang jauh lebih eksotik dari itu.
Tampaknya model Big Bang konvensional memberikan suatu keselarasan dengan hasil observasi, selama kita memberikan suatu kondisi awal yang spesifik pada awal alam semesta yakni : alam semesta yang mengembang dengan kerapatan yang sama di semua titik dalam ruang, namun ada gangguan kecil yang menyebabkan alam semesta berkembang ke keadaan sekarang. Mengapa demikian?

Dari model kosmologi standar terdapat dua permasalahan besar yakni masalah horison dan masalah kurvatur alam semesta. Semakin dini alam semesta, kerapatannya akan mendekati kerapatan kritis, maka berapapun kerapatan alam semesta sekarang, pada alam semesta dini perbedaan kerapatannya haruslah sangat kecil. Kalau tidak, maka kita tidak akan bisa menjumpai alam semesta pada keadaan sekarang. Jika perbedaannya besar, maka untuk model alam semesta tertutup, alam semesta sudah mengalami kehancuran besar atau big crunch dan untuk model alam semesta mengembang, temperatur 3 Kelvin telah dicapai sebelum saat ini.

Sedangkan masalah horison berkaitan dengan batas sesuatu yang bisa diamati dengan yang belum teramati. Intinya, dari CMB kita temukan adanya keseragaman temperatur. Nah temperatur ini bisa seragam tentu karena adanya komunikasi antara partikel-partikel dalam alam semesta. Namun setelah kita telusuri jejak ke masa lalu, ternyata horison itu kecil dan menunjukkan kalau setelah big bang dan alam semesta mengembang partikel-partikel yang awalnya bisa saling berkomunikasi akan tidak bisa saling berkomunikasi lagi karena berada di luar horison tersebut. Nah bagaimana supaya partikel-partikel tersebut bisa saling berkomunikasi? Jawabannya perbesar horison, nah jawaban yang memungkinkan untuk kedua masalah ini adalah adanya inflasi alam semesta.

Apa itu Inflasi? Inflasi alam semesta merupakan pengembangan alam semesta secara eksponensial dalam waktu yang sangat singkat saat alam semesta dini. Bahkan satu kedipan matapun lebih lambat dari inflasi alam semesta. Inflasi terjadi dalam waktu kurang dari 1 detik. Cepat sekali bukan? Mengapa perlu adanya inflasi?

Inflasi alam semesta. Kredit : guidetothecosmos.comInflasi diperlukan untuk memecahkan masalah kurvatur alam semesta maupun masalah horizon. Dengan adanya inflasi maka horizon alam semesta bisa diperbesar sampai keadaan dimana partikel-partikel berada dalam lingkup horizon dan bisa slaing berkomunkiasi. Selain itu dengan pengembangan alam semesta secara tiba-tiba (eksponensial) maka setelah alam semesta mengalami inflasi, setelah itu ia akan mengembang mengikuti model standar dan pada akhirnya bisa mencapai keadaan saat ini. Tanpa inflasi evolusi alam semesta mungkin sudah mencapai masa akhirnya (kehancuran besar untuk alam semesta tertutup) atau kondisi dimana temperatur alam semesta mencapai suhu 3 K terjadi jauh sebelum sekarang.

Namun sampai saat ini belum ada model inflasi yang pasti. Berbagai model inflasi masih terus dikembangkan. Alam semesta memang menyimpan segudang misteri untuk dipecahkan, namun setiap satu misteri terungkap akan muncul misteri baru. Ruang waktu seperti sebuah jajaran teka teki yang menanti manusia untuk mengisi setiap jawaban.